Burangrang: Mendaki Bersama, Menemukan Makna
DiaryTravel
11 Juni 2025|4 Min Read

Ada momen dalam hidup ketika langkah kaki bukan sekadar perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Ia menjadi perjalanan batin, pengingat akan siapa diri kita, dan pelajaran tentang bagaimana bersyukur atas kehadiran orang-orang yang berjalan di samping kita.

Pagi itu, sinar mentari menembus dedaunan untuk menyinari langkah kami. Tanpa banyak kata, kami saling melempar senyum—seolah tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya soal mencapai puncak, melainkan tentang menyatukan tujuan dan melepas ego yang kadang tanpa sadar membebani.

Kami menurunkan gengsi, meredam emosi, dan mencoba mengalahkan keinginan untuk merasa paling benar atau paling kuat. Karena kami tahu, gunung tidak pernah meminta siapa yang paling unggul. Ia hanya ingin melihat siapa yang mampu bertahan—dengan rendah hati.

Perjalanan ini bukan pendakian pertama kami. Tapi seperti biasa, setiap langkah selalu menyimpan kisahnya sendiri. Gunung Burangrang, yang terletak di Jawa Barat, menjadi saksi dari perjalanan kami kali ini. Jalurnya tidak terlalu curam, namun tetap menguji kesabaran dan kekompakan.

Kami menghabiskan waktu lebih dari empat jam—jauh melampaui estimasi. Bukan karena medan yang menyulitkan, tapi karena kami terlalu sering berhenti. Bukan karena lelah, tetapi karena ingin menyimpan momen—bukan hanya dalam kamera, tetapi juga dalam hati. Rasanya tak cukup bila hanya menyimpan kenangan di satu tempat. Kami ingin mengabadikannya dalam tawa, dalam peluh, dan dalam cerita.

Ada Astrid, yang selalu penuh semangat di setiap momen—wajahnya tak pernah lepas dari sorot mata yang berbinar. Alia, dengan tingkah lakunya yang lucu, membuat perjalanan terasa ringan dan penuh tawa. Fikri, bocil paling gen Z, dengan gayanya yang khas dan komentar spontan yang menghidupkan suasana. Hida, si fomo yang selalu ingin tahu apa pun yang terjadi. Sani, dengan sisi kocaknya yang tak terduga, selalu berhasil mencairkan suasana. Dan aku—yang merasa beruntung bisa belajar dari mereka semua tentang arti perjalanan, kebersamaan, dan saling melengkapi.

Kami tiba di puncak lewat tengah hari. Matahari sedang tinggi-tingginya, membakar kulit dan menguras sisa tenaga. Tapi ketika sampai, semua rasa letih itu luruh—digantikan oleh rasa takjub akan ciptaan Tuhan. Hamparan hutan, langit biru, dan awan yang bergerak pelan—semuanya seperti menyapa dan berkata: “Selamat datang, kamu berhasil.”

Namun yang paling membuat hati hangat bukan hanya pemandangan di depan mata, melainkan orang-orang yang berdiri di sisi kita. Mereka yang ikut lelah, ikut tertawa, dan ikut berjuang. Kita naik bersama, turun bersama. Tidak ada yang ditinggalkan, tidak ada yang ditinggikan.

Satu hal yang kami sadari: kita tidak pernah benar-benar menaklukkan gunung, yang kita taklukkan adalah diri sendiri—ego, gengsi, dan keinginan untuk menjadi paling hebat. Perjalanan ini mengingatkan kami akan satu kutipan:

“Jika ingin pergi cepat, berjalanlah sendiri. Tapi jika ingin pergi jauh dan tinggi, berjalanlah bersama-sama.”

Terima kasih, kawan. Untuk langkah yang seirama. Untuk tawa yang tulus. Dan untuk kebersamaan yang, meskipun sederhana, terasa sangat berharga.